Category Archives: Sejarah Islami

Saat Mata Rasulullah SAW Tembus Pandang

 

Setelah pulang dari perjalanan Isr’ Mi’raj, banyak hal yang serba tidak masuk akal ditanyakan oleh orang kafir.
Sampai bentuk bangunan Masijidil al Aqsha, keadaan sekitarnya, jumlah pintu pun mereka tanyakan.
Maka turunlah mu’jizat, sehingga jarak pandang Beliau tembus sampai ke Masjid Al Aqsha.
Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abbas dan Aisyah ra ( istri Rasulullah SAW) bahwa suatu pagi yang cerah tanggal 27 Rajab tahun ke 11 kerasulan Muhammad SAW, Rasulullah duduk merenung sedih seraya bersabda,
“Perjalanan Isra’ Mi’rajku semalam dan waktu subuh aku telah tiba di Makkah, kurasakan benar akan menimbulkan banyak orang yang tidak mempercayaiku.”

Secara kebetulan, Abu Jahal lewat di depan Rasulullah SAW.
Melihat kemenakannya yang tampak sedang sedih, ia kemudian menghampirinya.
“Hai Muhammad, sepertinya ada hal penting yang Engkau pikirkan,” katanya.
“Benar paman, semalam aku baru menempuh perjalanan jauh,” jawab Rasulullah.
“Perjalanan jauh kemanakah sehingga membuat Engkau meratapinya,” ujar ABu Jahal lagi.

Isra’ Mi’raj

Rasulullah pun lantas menjelaskan tentang peristiwa yang luar biasa yang baru saja Beliau alami tersebut kepada pamannya, bahwa semalam Beliau telah melakukan sebuah perjalanan jauh yakni ke Sidratul Muntaha melalui Baitul Maqdis.

Setelah menyimak cerita Rasulullah, ABu Jahal pun lantas bertanya kepada kemenakannya tersebut seraya mengekspesikan ketidakpercayaa nnya akan semua apa yang baru saja dialami oleh Rasulullah.

“Kalau pun memang engkau semalam telah melakukan perjalanan ke Sidratul Muntaha, apakah mungkin sekarang engkau sudah berada di sini dan apakah engkau berani mengabarkan peristiwa gila ini kepada kaummu?” ucap Abu Jahal.

Melihat Abu Jahal yang

 
sepertinya sangat tidak percaya akan semua yang Beliau alami, maka ketika ABu Jahal menantang Beliau untuk mengabarkan peristiwa luar biasa kepada penduduk Makkah.

Setelah banyak orang yang berkumpul, Rasulullah SAW pun menyampaikan kepada kaumnya seraya bersabda,
“Wahai kaumku, ketahuilah bahwa semalam aku baru menempuh perjalanan jauh.”
Salah seorang dari kaum itu bertanya.
“Kemana?”

Rasulullah SAW pun menjawab dengan tegas,
“Ke Sidratul Muntaha melalui Baitul Maqdis,” sabda Rasulullah.
“Dan pagi ini kamu sudah berada di sini, hai Muhammad?” tanya seorang kaum itu yang keheranan.
“Benar, dan inilah kekuasaan Allah SWT, wahai kaumku!” sabda Rasulullah SAW menjelaskan.

Mata Rasulullah SAW Tembus Pandang

Tiba-tiba seorang dari Bani ‘Adi bernama Muth’im bin ‘Adi menerobos kerumunan orang dan maju ke depan dan berkata lantang,
“Hai Muhammad, sebelum hari ini, aku membenarkan ucapanmu.
Tetapi sejak detik ini aku mendustakanmu, sebab aku biasa ke Baitul Maqdis dengan berkendara unta membutuhkan waktu sebulan penuh untuk sampai kesana.
Demikian juga pulangnya ke Makkah.
Kalau engkau memang benar semalam telah ke Baitul Maqdis aku mempunyai pertanyaan untukmu, Berapakah jumlah pintu Masjid al-Aqsha/ Baitul Maqdis?”

Mendengar pertanyaan dari Muth’in bin ‘Adi tersebut Beliau tampak sangat bersedih.
Sebab waktu disana, Beliau memang tidak memperhatikan masalah pintu, apalagi menghitungnya.

Dalam kesedihan yang amat sangat itu, tiba-tiba turunlah Mukjizat.
Rasulullah SAW dapat melihat dengan jelas seluruh ruangan Masjid al-Aqsha yang berada nun jauh di Palestina.
Sehingga Beliau langsung dapat menghitung jumlah pintunya dan memberikan jawaban yang tepat kepada penduduk Makkah.

Menyibak Para Pengkhianat Dalam Islam Pada Perang Hunain

 

Ini merupakan pengkhianatan yang terkenal. Alangkah banyaknya pengkhianatan sebelum Islam, dan alangkah banyaknya orang yang mengkhianati orang lain, jika dia tidak kuat imannya dan benar akidahnya, tidak berpegang teguh kepada agamanya yang lurus dan tidak membanggakan ajaran agamanya yang berasal dari Allah, yang mana pangkat dan jabatan menjadi rendah di hadapan-Nya. Banyak kita dapatkan sebagian orang yang secara sukarela tunduk kepada musuh-musuh mereka dan mengkhianati bangsa dan agamanya karena kecintaannya terhadap harta dan jabatan yang fana dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Inilah kabilah Hawazin yang bersama Bani Tsaqib dan lainnya dari kabilah Arab yang termakan api kecemburuan, kedengkian dan kebencian terhadap Rasulullah Saw dan kaum muslimin. Mereka berkumpul di bawah pimpinan mereka, Malik bin Auf An-Nadhiri, dan mereka bersama Bani Jasyam, Bani Sa’ad bin Bakar dan Auza’ dari Bani Hilal, dan sejumlah orang dari Bani Amru bin Amir dan Aun bin Amir. Mereka kemudian bersekongkol untuk berkhianat, dan mengerahkan segala-galanya untuk menyukseskan rencana mereka.

Mereka mengerahkan kekuatan mereka dan persenjataan yang mereka miliki untuk memerangi musuh bangsa Arab, seperti bangsa Persia, bangsa Romawi, dan Yahudi. Pada saat itu, sejarah menorehkan goresan tintanya untuk mencatat kebaikan mereka dan pujian baik bagi mereka selamanya. Akan tetapi, sangat disayangkan mereka mengerahkan kekuatannya untuk memerangi saudara-saudara mereka yang tida berdosa. Namun, Allah tetap menerangi hati mereka dengan cahaya Islam dan iman, dan menganugerahkan kepada mereka sebaik-baiknya makhluk, pemimpin para nabi dan rasul, dan pemimpin manusia secara keseluruhan, Muhammad, Rasulullah Saw.

Dulu, Thaif dikenal dengan sebutan Hunain. Pada perang ini, kaum muslimin terpedaya dengan jumlah mereka yang banyak, hingga salah seorang dari mereka berkata, “Kita tidak akan pernah kalah sekarang, karena jumlah kita tidak sedikit.” Perang mulai berkobar di waktu pagi, lembah yang dikenal dengan sebutan lembah Hunain. Sedangkan kabilah Hawazin dan sekutunya telah mempersiapkan diri di lembah yang lain, dan berhadap-hadapan, tanpa ada main belakang, culas, dan berkhianat. Kadang-kadang juga didahului dengan genderang perang, sehingga tidak ada di antara dua kelompok yang berperang yang saling mendahului. Akan tetapi para pengkhianat telah mendahului kaum muslimin dan segara menyerang dengan panah kepada

mereka serta menebaskan pedang. Sedangkan tentara kaum muslimin belum bersiap dan memegang peralatan perangnya. Akibat dari pengkhianatan ini, kaum muslimin terpaksa mundur dalam keadaan kalah, dan dihantui perasaan takut.

Anda dapat membayangkan

sendiri bagaimana posisi yang sangat sulit ini, dan bagaimana pengkhianatan itu dilakukan sehingga membahayakan kaum muslimin, dan akhirnya mereka menyerah mundur akibat pengkhianatan yang tiba-tiba ini. Pada saat itu, hanya sedikit di antara tentara Islam yang bertahan bersama Nabi Saw. Ada yang mengatakan, “Jumlah mereka yang bertahan bersama Nabi Saw adalah seratus orang.” Ada yang mengatakan “Delapan puluh orang, di antaranya Abu Bakar, Umar, Ali, Al-Abbas, Al Fadhl bin Al-Abbas, Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muthalib, ana paman Nabi Saw, Aiman bin Ummi Aiman, Usamah bin Zaid, dan lainnya. Dalam perang ini, kaum muslimin mendapatkan cobaan yang luar biasa, sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat sulit, yang mereka alami dalam hidup mereka dan sepanjang peperangan yang mereka melawan kemusyrikan dan kaum musyrik, dan dalam melawan kekufuran dan orang-orang kafir.

Akan tetapi, siapa yang mampu menghadapi keadaan yang sesulit ini, dan siapa yang mampu menjalani kesengsaraan yang luar biasa yang disebabkan oleh pengkhianat yang sadis ini, selain orang yang paling berani di antara yang pemberani, yaitu pemimpin umat manusia yang secara keseluruhan, makhluk terbaik secara mutlak, pemimpin para nabi dan rasul, Muhammad Saw. Beliau telah menyikapi keadaan ini dengan hati yang kuat dan sikap cepat, tanggap dan benar. Beliau juga memanggil kaum muslimin dengan suara yang kuat, seraya bersabda, “Berkumpullah kepadaku wahai hamba-hamba Allah. Berkumpullah kepadaku, ini aku Rasulullah!” Beliau menyampaikan sabdanya yang kekal, “Aku nabi dan tidak pernah berdusta. Aku anak Abdul Muthallib.”

Nabi Saw kemudian menyuruh pamannya Al-Abbas untuk memanggil kaum muslimin dengan suara yang lantang dan mengajak mereka agar kembali ke medang perang dan tetap bersama Nabi Saw, sehingga keadaan begitu cepat berubah dan tersingkaplah tabir mendung itu, serta lenyaplah kesulitan dan pengkhianatan itu. Pengkhianatan kaum musyrik akhirnya gagal dan kaum muslimin tetap berada di sekitar Rasulullah Saw. Kalaupun ada di antara mereka yang meninggal dunia, akan tetapi mereka telah menjual diri dan jiwa mereka di jalan Allah dengan keberanian yang tidak pernah ada tandingannya dalam sejarah. Keadaan kaum muslimin begitu cepat berubah, dari kalah menjadi menang. Mereka berhasil membunuh musuh dan menahan yang masih hidup. Mereka juga berhasil memberikan pelajaran berharga kepada musuh, berkat ketabahan Nabi Saw.

Pada perang itu, sebanyak enam ribu orang dari pihak musuh menjadi tawanan kaum muslimin. Di antaranya terdapat pemimpin mereka, Malik bin Auf An-Nadhri, yang pada suatu saat nanti memeluk agama Islam.

(Oleh Syaikh Sa’ad Karim Al Fiqi)